Radarnesia.com – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengonfirmasi bahwa pasukan udara AS telah menjatuhkan bom pada tiga situs nuklir utama Iran, Fordow, Natanz, dan Esfahan.
Langkah ini menjadi babak baru dalam agresi militer terhadap Republik Islam Iran, yang sebelumnya sudah diserang Israel selama sepekan penuh dalam Operasi Rising Lion. Amerika Serikat tak hanya menjadi penyokong dari balik layar, kini tampil sebagai pelaku langsung.
Konflik bersenjata antara AS, Israel, dan Iran akan mengakibatkan lebih dari sekadar korban jiwa dan reruntuhan. Dampak paling langsung adalah melonjaknya harga minyak dunia.
Iran adalah produsen minyak terbesar keempat OPEC dan penjaga jalur kritis yaitu Selat Hormuz. Sekitar 20% suplai minyak global melewati selat ini. Satu ledakan saja, satu rudal nyasar, cukup untuk memicu disrupsi yang menelan triliunan dolar kerugian global.
“Sejak kabar serangan udara dikonfirmasi, pasar berjangka minyak mentah melonjak tajam. Dalam waktu singkat, harga minyak menyentuh USD 80 per barel dari sebelumnya menyentuh USD 78 per barel,” kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat dalam keterangan tertulis, Minggu (22/6/2025).
Diprediksi dalam 1 minggu ke depan bila ketegangan berlanjut bisa mencapai USD 110 per barel Bahkan, jika Iran benar-benar memblokir Selat Hormuz, harga bisa menembus USD 150–USD 170 per barel.
Efek domino dari ini sangat luas, yaitu inflasi global, biaya logistik yang membengkak, tekanan fiskal bagi negara berkembang, dan tentu saja, ancaman resesi. Negara-negara pengimpor energi seperti Indonesia akan sangat terpukul.
Pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit: menaikkan harga BBM atau menambah subsidi yang akan memperlebar defisit anggaran. Keduanya berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat.
“Ini adalah pukulan telak bagi pemulihan ekonomi pasca pandemi dan krisis pangan global,” tutur dia.