Radarnesia.com – Riset ilmiah terbaru mengungkap fakta mengejutkan tentang kandungan Bisphenol A (BPA) dalam makanan kaleng yang beredar di pasaran. Studi di Amerika Serikat dan Kanada menemukan konsentrasi BPA dalam tuna kaleng mencapai 534 nanogram/gram (ng/g), jauh melampaui ambang batas aman yang ditetapkan Badan POM RI sebesar 600 mikrogram/kg (0,6 bpj).

Dr. Karin Wiradarma, Sp.GK, mengungkapkan keprihatinannya atas temuan ini. “73 persen sampel makanan kaleng di berbagai negara mengandung BPA, sementara makanan segar hanya 7 persen. Ini menunjukkan makanan kaleng menjadi jalur utama paparan BPA pada manusia,” jelas spesialis gizi klinik tersebut, dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Rabu (6/8/2025).

Ironisnya, isu BPA di Indonesia selama ini lebih banyak menyoroti galon air minum, padahal penelitian Harvard School of Public Health (2011) membuktikan konsumsi sup kaleng selama lima hari berturut-turut meningkatkan kadar BPA dalam urin hingga 1.000 persen. “Paparan BPA dari makanan kaleng bukan sekadar teori, tapi sudah terbukti secara klinis,” tegas Dr. Karin.

Prof. Ahmad Sulaeman, Guru Besar Keamanan Pangan IPB, menjelaskan mekanisme migrasi BPA dari kemasan kaleng. “Lapisan epoksi pada kaleng yang mengandung BPA akan terlarut ke dalam makanan, terutama saat disimpan lama atau dipanaskan. Semakin lama kontak, semakin tinggi migrasinya,” paparnya.

Bandingkan dengan galon polikarbonat yang menurut penelitian hanya mengandung 0,128–0,145 ng/g BPA. “Ini ribuan kali lebih rendah dari makanan kaleng. Fokus kita seharusnya pada sumber paparan utama, bukan yang minor,” tambah Prof. Ahmad.

Data Badan POM menunjukkan peraturan saat ini tentang batas maksimal BPA belum sepenuhnya efektif mengontrol risiko kesehatan. “Kami mendorong revisi regulasi yang lebih ketat, termasuk verifikasi mandatori dan pelabelan risiko pada produk kaleng,” ungkap juru bicara Badan POM.

Para ahli sepakat, konsumen perlu diedukasi untuk membatasi konsumsi makanan kaleng dan beralih ke pangan segar. “Ibu hamil dan anak-anak khususnya harus menghindari makanan kaleng karena BPA bisa mengganggu perkembangan hormonal,” imbau Dr. Karin.

Dengan temuan itu, diharapkan muncul kesadaran baru untuk memprioritaskan pengawasan BPA pada sumber paparan tertinggi, bukan hanya fokus pada galon air minum yang risikonya jauh lebih kecil.