Radarnesia.com – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menilai sudah saatnya Indonesia mengubah strategi negosiasi perdagangan internasional, utamanya terkait negosiasi tarif impor Amerika Serikat kepada Indonesia.
Achmad menyebut, bahwa sudah bertahun-tahun negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat untuk menurunkan tarif Trump berjalan tanpa kepastian.
Menurutnya, jika Indonesia terus melanjutkan negosiasi dengan pola lama, dipimpin oleh figur yang sama maka hasilnya akan sama, yakni Pemerintah Indonesia hanya menunggu belas kasih, bukan mendapatkan kemenangan strategis.
Negosiasi adalah tentang keberanian menawarkan paket insentif yang tak bisa ditolak, menyiapkan data dan analisis yang tak terbantahkan, serta memastikan tim negosiasi dipimpin oleh figur independen yang fokus penuh pada kepentingan nasional.
“Negara besar bukan ditentukan oleh angka PDB semata, melainkan oleh keberanian, kecerdasan, dan kepemimpinan dalam mempertahankan kepentingan nasional di meja perundingan global,” pungkasnya.
Tarif tinggi yang diberlakukan sejak era Presiden Donald Trump melalui kebijakan Section 301 masih membebani ekspor Indonesia. Padahal beberapa negara lain, termasuk Cina, berhasil mencapai kesepakatan untuk menurunkan tarif mereka secara signifikan.
“Pertanyaannya, mengapa Indonesia gagal meniru keberhasilan Cina? Apa sebenarnya yang membuat Cina bisa melakukan negosiasi dengan sangat efektif, sementara Indonesia hanya menunggu di pinggir lapangan global, berharap belas kasih negara maju?,” kata Achmad dikutip dari keterangannya, Minggu (13/7/2025).
Menurutnya, negosiasi perdagangan internasional ibarat permainan catur. Setiap langkah harus strategis, penuh perhitungan, dan terintegrasi. Sayangnya, Indonesia masih memainkannya seperti permainan Engklek Melompat yakni hanya melompat-lompat tanpa rencana besar, mudah ditebak, dan mudah dimatikan langkahnya.
Cina mampu menurunkan tarif melalui Phase One Deal, karena mereka memahami bahwa negosiasi dagang bukan sekadar soal permohonan penurunan tarif.
“Mereka menyiapkan paket kesepakatan komprehensif, memiliki daya tawar yang beda dan menawarkan pembelian produk AS khususnya teknologi sebagai trade-off atas penurunan tarif sektor industrinya. Pendekatan barter strategis inilah yang tidak pernah dilakukan Indonesia,” ujarnya
Ia pun merumuskan akar persoalan Indonesia selalu gagal dalam bernegosiasi adalah daya tawar yang lemah dan strategi negosiasi yang terfragmentasi.
Ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar USD 20-30 miliar per tahun, jauh dibandingkan Cina yang mencapai USD 500 miliar. Artinya, AS memiliki ketergantungan impor pada Cina yang jauh lebih tinggi, memberi leverage besar pada negosiasi mereka.
“Namun bukan hanya soal ukuran perdagangan. Cina menjalankan negosiasi sebagai state grand strategy. Mereka menyiapkan data mikro dan makro rinci, memahami titik lemah supply chain AS, dan menawarkan kompensasi yang menarik,” ujarnya.
Indonesia sebaliknya hanya meminta belas kasihan dan membawa argumen moral. “Sayangnya, dalam negosiasi global, moral tidak cukup. Hanya kekuatan tawar dan strategi yang menentukan hasil,” ujarnya.









