Radarnesia.com – Pasokan energi fosil dari minyak dan gas bumi (migas), masih menjadi komponen utama dalam memenuhi kebutuhan energi nasional.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) telah menetapkan target volume atau lifting migas sebesar 1,61 juta barel setara minyak per hari (BOEPD) pada 2025. Target itu terdiri dari minyak bumi sebanyak 605 ribu barel dan gas bumi sebanyak 1,01 juta BOEPD.

Untuk menjawab target tersebut, SKK Migas bersama para pemangku kepentingan telah menyiapkan sejumlah langkah strategis:

Kerja Sama Internasional

Penandatanganan Nota Kesepahaman antara SKK Migas dengan FalconRidge Oil Ltd dari Kanada baru-baru ini merupakan contoh kerja sama internasional yang dilakukan untuk mempercepat adopsi teknologi mutakhir, seperti Terra Slicing Technology. Teknologi itu diharapkan mampu meningkatkan produksi pada sumur-sumur berproduksi rendah atau mati.

Optimalisasi Lapangan Tua

Sebagai bagian dari upaya meningkatkan produksi, optimalisasi lapangan tua merupakan salah satu strategi yang ditetapkan oleh SKK Migas dengan berbasis pada EOR dan IOR. Diharapkan, strategi ini dapat meningkatkan produksi sumur yang ada sehingga berdampak pada produksi migas nasional

Pendekatan Berbasis Insentif

Untuk memastikan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) memenuhi komitmen eksplorasinya, SKK Migas menerapkan pendekatan berbasis insentif. KKKS dapat diberikan insentif sepanjang hal tersebut mendukung peningkatan produksi migas. Bahkan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM yang mengatur tentang perbaikan kontrak bagi hasil gross split guna menciptakan iklim investasi yang lebih kompetitif

Transfer Pengetahuan dan Pengembangan SDM Lokal

Melalui kerja sama dengan mitra internasional dan KKKS, pemerintah juga mengarahkan terciptanya transfer pengetahuan dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia lokal melalui pelatihan dan lokakarya.
Sebagai bagian dari program Asta Cita dari Presiden Prabowo, sektor hulu migas tidak saja bertujuan memenuhi target lifting, tetapi juga perlu memastikan terciptanya ketahanan energi nasional.

Hal tersebut dapat dicapai melalui reformasi kebijakan, peningkatan eksplorasi, dan kolaborasi strategis dengan sejumlah pihak terkait sehingga pada akhirnya industri hulu migas nasional dapat berperan dalam pembangunan berkelanjutan Indonesia.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengumumkan lifting minyak pada Rabu (30/7/2025) sudah mencapai 608 ribu barel per hari (bph), melampaui target di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar 605 ribu bph.

Akan tetapi, lanjut dia, angka tersebut bukanlah angka akumulatif lifting minyak untuk bulan Juli 2025. Keberhasilan ini, merupakan kali pertama bagi Indonesia mencapai target lifting minyak di APBN.

“Berbagai tantangan tersebut meliputi sumur-sumur Indonesia yang sudah menjadi sumur-sumur tua, sehingga kalau kita melihat dari upaya yang kita lakukan dengan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama), dengan teman-teman pengusaha, rasanya ada secercah harapan untuk kita menuju perbaikan lifting dan mencapai target,” tutur Menteri ESDM.

Sedangkan Kepala SKK Migas Djoko Siswanto menyampaikan, bahwa pada semester I-2025, realisasi lifting minyak bumi sebesar 578 ribu barel per hari (bph), atau mencapai 95,5 persen dari target lifting minyak 2025 sebesar 605 ribu bph.

Djoko menyatakan capaian lifting minyak pada Juni 2025 lebih tinggi apabila dibandingkan dengan Juni 2024, dengan realisasi lifting minyak pada Juni 2024 sebesar 576,1 ribu bph.

Capaian positif itu mendapat apresiasi dari pengamat migas Ferdi Hasiman. Menurutnya, capaian lifting minyak yang mencapai 608 barel per hari itu layak mendapatkan apresiasi karena melampaui target APBN yakni 605 barel per hari. “Sejauh ini memamg upaya Pertamina dan KKSS untuk mencapai target lifting migas sudah cukup bagus,” kata Ferdi.

Lebih lanjut, Ferdi menyatakan, tidak mudah untuk mencapai target itu karena sumur migas yang dikelola oleh Pertamina sudah tua dan faktor teknologi.

Salah satu ladang minyak yang bisa diandalkan yakni Lapangan Minyak Banyu Urip di Bojonegoro, Jawa Timur, sedangkan produksi minyak di Blok Rokan, Riau sudah turun.

“Ke depan Pertamina harus mempercepat transisi energi agar tidak selalu bergantung dengan migas, apalagi di tengah situasi geopolitik di Timur Tengah seperti konflik Iran-Israel,” katanya.

Di sisi lain, seperti dilansir laman Indonesian Petroleum Association (IPA), sejumlah tantangan yang dihadapi industri migas nasional, antara lain:

Penurunan harga minyak global dalam beberapa tahun terakhir telah memengaruhi minat investor untuk berinvestasi. Kondisi tersebut diperparah dengan banyaknya regulasi yang dinilai kurang fleksibel. Alhasil, investasi untuk eksplorasi dan pengembangan lapangan baru pun menjadi berkurang.

Lokasi penemuan sumber daya migas saat ini mulai bergerak dari wilayah daratan (onshore) ke wilayah perairan khususnya laut dalam (offshore). Hal tersebut menyebabkan aktivitas eksplorasi menjadi lebih kompleks dan menuntut teknologi serta modal yang tinggi

Sebagian besar lapangan migas di Indonesia merupakan lapangan tua yang membutuhkan teknologi tinggi untuk berproduksi. Penggunaan teknologi lebih lanjut, seperti Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Improved Oil Recovery (IOR), diyakini dapat meningkatkan produksi dari sumur-sumur tua tersebut. Namun, implementasi teknologi ini membutuhkan investasi besar dan dukungan regulasi yang memadai.

Secercah harapan dari peningkatan produksi migas pada kuartal II 2025 ini menggambarkan upaya kerja keras dari pemerintah bersama para pemangku kepentingan seperti KKKS dan investor dalam mendukung kebutuhan energi nasional. Meski memang sudah saatnya, Indonesia beralih ke energi baru dan tak terbarukan, tidak tergantung energi fosil seperti bahan bakar minyak (BBM). Peta jalan transisi energi fosil ke energi hijau sudah dibuat. Kita sudah mulai melangkah ke sana.