Radarnesia.com – Aksi demo menolak relokasi 16 Kampung Tua Melayu Rempang Galang, Senin (11/9/2023) di Kantor BP Batam, rusuh. Polisi sampai menembakan gas air mata dan air water cannon.
Kerusuhan dipicu usai Kepala BP Batam Rudi menyampaikan penjelasannya soal Rempang di depan massa. Massa yang tidak puas dengan penjelasan Rudi melempari dengan botol air mineral. Selain itu massa berusaha menerobos pagar.
Kehadiran Rudi di tengah massa itu, sesuai dengan permintaan dari perwakilan Laskar Pembela Marwah Melayu. Mereka minta Kepala BP Batam hadir di tengah massa, menerima tuntutan mereka.
Namun kehadiran Rudi itu ternyata memicu massa yang sudah hadir sejak pagi. Melihat situasi yang tidak kondusif, Rudi pun kembali masuk ke dalam. Massa pun semakin liar.
Situasi sempat chaos. Pantauan dilapangan, tampak armada kepolisian menyemprotkan water cannon di lokasi untuk membubarkan massa. Aparat berseragam dan warga tampak berkerumun. Terdengar suara dari toa agar warga mundur.
Kerusuhan meluas di depan Kantor Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) berakibat puluhan orang terluka. Para korban terdiri dari warga, aparat keamanan, dan petugas BP Batam yang berpangkat Brigadir Jenderal.
Beberapa petugas yang mengalami luka akibat insiden tersebut berasal dari Direktorat Pengamanan (Ditpam) BP Batam dan pihak Kepolisian.
Mereka segera dilarikan ke klinik yang berada di dalam kompleks kantor BP Batam untuk mendapatkan perawatan medis.
Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, mengungkapkan bahwa salah satu korban yang terluka adalah pejabat utama BP Batam, yakni Direktur Pengamanan (Dirpam) BP Batam, Brigjen Pol Muhammad Badrus.
Total, ada sekitar enam orang yang mengalami luka, baik dari Ditpam maupun dari pihak kepolisian. Salah satu di antara mereka adalah seorang Brigjen yang terkena lemparan di bagian dagu hingga berdarah.
“Beberapa petugas yang terluka mendapatkan perawatan di ruang kesehatan BP Batam,” ujar Ariastuty Sirait.
Konflik agraria bermula dari rencana relokasi
Konflik agraria di Pulau Rempang bermula ketika Badan Pengusaha (BP) Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Rempang. Hal itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang.
Menurut Badan Pengusahaan (BP) Batam, kawasan Pulau Rempang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2023 sebagai Rempang Eco City. PSN 2023 tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Kawasan ini diestimasikan memperoleh investasi sebesar Rp381 triliun hingga tahun 2080. Dalam rencana pembangunannya, Pulau Rempang yang luasnya sekira 17.000 hektar akan dibangun menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata. Tujuannya mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia dengan Malaysia dan Singapura.
Tujuh zona yang nanti akan dikembangkan antara lain zona industri, zona agro-wisata, zona pemukiman dan komersial, zona pariwisata, zona hutan dan pembangkit listrik tenaga surya, zona margasatwa dan alam serta zona cagar budaya.
Bahkan Pemerintah Republik Indonesia menargetkan pengembangan Kawasan Rempang Eco City dapat menyerap hingga 306.000 tenaga kerja hingga tahun 2080 mendatang.
Dalam keterangan tertulis, BP Batam mengatakan pengembangan Pulau Rempang diawali dengan investasi produsen kaca terkemuka dari China sejak akhir Juli. Perusahaan yang berkomitmen berinvestasi sekira Rp175 triliun akan membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan pasir silika serta ekosistem rantai pasok industri kaca dan kaca panel surya.
“Penandatanganan kerja sama dengan Xinyi Group pun disaksikan langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo, dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Xi Jinping,” kata Kepala BP Batam-Medan.
Masyarakat adat menolak PSN Rempang Eco City
Masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua menolak relokasi pembangunan Eco City. Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mereka dengan tegas menolak wilayah tersebut direlokasi.
Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad dalam beberapa kesempatan menegaskan warga kampung tidak menolak pembangunan, tetapi menolak direlokasi.
Warga mempersilakan pemerintah melakukan pembangunan di luar kampung-kampung warga. “Setidaknya terdapat 16 titik kampung warga di kawasan Pulau Rempang ini, kami ingin kampung-kampung itu tidak direlokasi,” katanya.
Ia mengklaim warga Rempang dan Galang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau setidaknya lebih dari satu abad lalu. “Kampung-kampung ini sudah ada sejak 1834, di bawah kerajaan Riau Lingga,” kata Gerisman.
Sejak 1834 itu kata Gerisman, negara tidak pernah hadir untuk masyarakat adat Tempatan di Rempang. Mereka tidak kunjung mendapatkan legalitas tanah meskipun sudah diajukan. “Tiba-tiba sekarang kampung kami mau dibangun saja,” tandasnya.
Penjelasan Kapolri
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan mengenai peristiwa bentrokan yang terjadi antara aparat gabungan dengan warga di Pulau Rempang, Batam, Kepualauan Riau.
Menurut Kapolri, sebelum terjadi bentrokan, BP Batam sudah melakukan langkah-langkah sebagaimana mestinya yakni mulai dari musyawarah, mempersiapkan relokasi hingga ganti rugi.
Ia menyebut BP Batam sudah menyiapkan ganti rugi bagi warga di Pulau Rempang, Batam, terkait rencana pengembangan di kawasan tersebut.
“Tentunya langkah-langkah yang dilaksanakan oleh BP Batam sudah sesuai berjalan, mulai dari musyawarah, mempersiapkan relokasi, termasuk ganti rugi kepada masyarakat yang mungkin telah menggunakan lahan atau tanah di Rempang,” kata Kapolri di Jakarta pada Kamis (8/9/2023).
Sigit mengatakan pengukuran lahan di Rempang bertujuan untuk pengembangan kawasan, namun kemungkinan lokasi tersebut dikuasai oleh beberapa kelompok masyarakat.
“Di sana, ada kegiatan terkait dengan pembebasan atau mengembalikan kembali lahan milik otoritas Batam yang saat ini mungkin dikuasai beberapa kelompok masyarakat,” ujar Sigit.
Pengukuran tersebut, lanjut Sigit, dilakukan lantaran pihak BP Batam akan menggunakan lahan tersebut untuk aktivitas investasi.
“Karena memang ada kegiatan yang akan dilakukan oleh BP Batam (pada lahan di Rempang),” kata Sigit.
Lebih lanjut, Sigit menegaskan bahwa penyelesaian konflik tersebut diselesaikan melalui musyawarah mufakat antara pihak-pihak terkait.
“Namun demikian, tentunya upaya musyawarah, upaya sosialisasi penyelesaian dengan musyawarah mufakat menjadi prioritas, sehingga kemudian masalah di Batam, di Rempang itu bisa diselesaikan,” tutur Sigit.
Sampai saat ini, petugas gabungan masih berjaga di lokasi sampai situasi benar-benar kondusif dan proses pengerjaan pengukuran lahan untuk proyek strategis nasional tersebut bisa diselesaikan. (J2*)