Radarnesia.com – Keinginan untuk memperbaiki nasib di negeri seberang seperti di Malaysia, tak selalu berujung bahagia dan sesuai harapan untuk Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal.

Cerita pilu sejumlah PMI ilegal yang pulang dari Malaysia harus menanggung konsekuensi berat, seperti siksaan layak menjadi perhatian semua pihak.
Salah satu PMI asal Madura, Sarman, menceritakan kisah getirnya selama delapan tahun bekerja sebagai buruh bangunan di Malaysia tanpa dokumen resmi. Ia mengaku dua kali masuk penjara dan mengalami siksaan fisik yang berat.

“Sudah 8 tahun saya di sana. Anak istri saya di kampung, di Madura. Awalnya saya ditahan satu bulan, lalu ditambah enam bulan lagi. Di penjara, saya disiksa. Kepala saya sering dipukul, tidak dikasih makan, bahkan ketika sakit pun tidak dikasih obat,” ungkapnya dengan suara bergetar, seperti dilansir laman goriau, Minggu (1/6/2025).

Cerita serupa disampaikan Ardian, PMI asal Lombok. Ia bekerja di Malaysia sebagai petugas kebersihan hotel. Ardian masuk ke Negeri Jiran menggunakan visa kunjungan, yang membuatnya berstatus ilegal sejak awal.

Ardian masuk ke Negeri Jiran menggunakan visa kunjungan, yang membuatnya berstatus ilegal sejak awal. “Gaji sebulan di sana setara dengan dua bulan gaji di Indonesia. Saya tahu risikonya, tapi waktu itu saya berpikir yang penting bisa masuk dulu,” katanya.

Setahun berada di Malaysia, Ardian akhirnya dideportasi setelah tertangkap karena melanggar aturan imigrasi.

Kasus Ardian ibarat puncak dari gunung es. Masih banyak WNI yang mengalami nasib buruk, bahkan tidak diurus kasusnya atau tidak terpantau. Ada faktor sosiologis membuat mereka merantau ke negeri jiran. Berdasarkan laman Universitas Gadjah Mada, Senin (3/3/225), tidak semua PMI bisa meraih impiannya, tidak jarang mereka terkena persoalan kasus hukum dari status pekerja ilegal, korban perdagangan manusia hingga risiko kasus perceraian di rumah tangganya.

Hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan lembaga Child Health and Parent Migration in Southeast Asia (CHAMPSEA) sejak 2008, ditemukan fenomena gangguan perkawinan atau marital disruption di kalangan rumah tangga migran Indonesia.

Prof. Dr. Sukamdi, M.Sc., selaku peneliti PSKK menyampaikan bahwa menjadi migran diasumsikan dapat membantu keluar dari kemiskinan, meskipun kenyataannya tidak seperti itu.

Meski remitan yang dihasilkan juga mampu membantu mereka untuk bertahan di masa pandemi bahkan kondisi ekonomi mereka cenderung stabil. Akan tetapi tidak sedikit pekerja migran yang mengalami ketidak harmonisan keluarga.

“Inilah dampak yang paling signifikan dirasakan rumah tangga pekerja migran indonesia. Banyak terjadi kasus perceraian akibat mereka harus bekerja ke luar negeri menyebabkan mereka terpaksa berpisah dari keluarga sehingga keharmonisan sudah tidak terbangun,” kata Sukamandi dalam memaparkan hasil penelitian, Kamis (27/2/2025).

Di sisi lain, upaya penanganan pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural dan korban perdagangan orang harus melibatkan kolaborasi seperti Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Kementerian Sosial (Kemensos).

Pemerintah mendorong sinergi itu untuk memastikan pemulangan, rehabilitasi, dan reintegrasi PMI berjalan optimal. Edukasi publik menjadi fokus utama guna mencegah eksploitasi dan pelanggaran di masa depan.

Upaya Kemlu Tangani PMI NonProsedural

Berdasarkan keterangan resmi dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, sejumlah 408 Pekerja Migran Indonesia (PMI) nonprosedural dideportasi oleh Pemerintah Arab Saudi akibat pelanggaran dokumen keimigrasian, terutama overstay.

Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha, mengatakan bahwa pemulangan telah dilakukan dalam dua gelombang: 211 orang pada Sabtu (11/1) dan 197 orang pada Selasa (14/1/2025).

Berdasarkan keterangan resmi, Sabtu (11/1/2025), mayoritas PMI yang dideportasi adalah pekerja sektor informal, khususnya asisten rumah tangga (ART), yang berangkat ke Arab Saudi meskipun negara tersebut masih memberlakukan moratorium penempatan PMI sejak 2015.

Akibatnya, mereka tidak hanya menghadapi deportasi tetapi juga masuk dalam daftar blacklist imigrasi Arab Saudi.

Sementara itu, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru telah memfasilitasi pemulangan 2.449 pekerja migran Indonesia (PMI) yang dideportasi dari Malaysia sejak Januari hingga akhir Mei 2025.

Pemulangan 196 PMI dari Malaka ke Dumai, Riau, pada Sabtu (31/5/2025), menurut Konsul Jenderal (Konjen) RI KJRI Johor Bahru Sigit S Widiyanto, merupakan yang terbesar dari 17 kali mereka memfasilitasi deportasi yang dilakukan kantor perwakilan RI di Johor Bahru, Malaysia.

Kepada para deportan, ia mengatakan agar jika nanti ingin bekerja lagi di luar negeri, harapannya semua harus mengikuti prosedur yang berlaku dan tidak bekerja secara nonprosedural.

Advokasi Kemensos

Pada sisi lain, Kemensos juga aktif menangani PMI korban perdagangan orang, seperti 569 pekerja yang baru saja dipulangkan dari Myanmar setelah dipaksa bekerja dalam skema online scamming atau penipuan daring.

Direktur Rehabilitasi Sosial Kemensos, Rachmat Koesnadi, menuturkan korban menjalani asesmen psikososial dan medis di Asrama Haji Pondok Gede sebelum dipulangkan ke daerah asal.

Berdasarkan keterangan resmi, Kamis (20/3/2025), bagi korban dengan trauma berat, Kemensos menyediakan layanan lanjutan di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus.

Sedangkan, dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Agus Budiman, mengingatkan bahwa minimnya lapangan kerja di dalam negeri menjadi salah satu faktor pendorong PMI untuk mencari pekerjaan ke luar negeri, meskipun berisiko terjebak dalam praktik ilegal.

“Kurangnya informasi dan pemahaman tentang risiko pekerjaan di luar negeri juga turut memperburuk situasi ini,” ujar Agus seperti dilansir laman Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jumat (18/4/25)

Menurutnya, banyak warga Indonesia terpaksa merantau dengan risiko tinggi karena kondisi ekonomi yang memaksa.

Laporan dari LSM Migrant Watch Asia, banyak PMI direkrut melalui agen tidak resmi dan dijanjikan pekerjaan di sektor jasa atau teknologi.

Namun kenyataannya, mereka dipaksa bekerja di perusahaan yang menjalankan aktivitas judi online, penipuan daring, bahkan perdagangan manusia. Beberapa korban mengaku disekap, disiksa, dan tidak menerima gaji sebagaimana dijanjikan.

Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat, jumlah PMI pada 2024 mencapai 296.970 orang, meningkat 8,4 persen dari tahun sebelumnya. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memantau betul pelindungan WNI di luar negeri khususnya para pekerja migran. Mereka adalah pahlawan devisa dan wajah Indonesia bagi bangsanya.