Oleh : Anil Hakim (Jurnalis & Kolumnis)

RADARNESIAM.COM – Kementerian Hukum (Kemenkum) telah resmi mengesahkan kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 2025-2030 kubu Muhammad Mardiono. Langkah ini diambil Kemenkum dengan mengacu kepada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) hasil Muktamar IX PPP di Makassar.

Keputusan ini ternyata tidak serta merta diterima oleh seluruh kader PPP. Kubu Agus Suparmanto misalnya, menolak keras pengesahan itu dan menduga ada intervensi, dalam proses pemilihan Ketua Umum Partai berlambang Ka’bah. Bahkan kubu Agus Suparmanto mengaku juga sudah mendaftarkan kepengurusan di Kemenkum.

Sementara itu, kandidat lainnya Husnan Bey Fananie menilai Muktamar 2025 ini, dilaksanakan dengan serampangan serta tidak mengacu pada AD/ART PPP. Cucu pendiri Ponpes Darussalam Gontor itu, bahkan meminta agar digelar Muktamar ulang sebelum akhir tahun 2025 ini. Pria yang akrab disapa Kyai Husnan tersebut juga meminta PPP kembali ke Khittah, dengan mengacu pada semangat fusi politik Islam 1973 diawal pendirian.

Kisruh yang terjadi di tubuh PPP saat ini, secara tidak langsung menambah daftar panjang konflik internal Partai Islam tertua tersebut. Ini bukan kali pertama, jauh sebelumnya saat Ketua Umum PPP Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 2014, sengketa juga terjadi ketika Djan Faridz berseteru dengan Romahurmuziy. Keduanya saling mengklaim sebagai Ketua Umum yang sah berdasarkan hasil muktamar masing-masing.

Kemudian, pada 2022 lalu, saat dipimipin Suharso Monoarfa PPP kembali diterpa badai. Suharso yang kala itu masih resmi menjabat Ketua Umum yang sah, tiba-tiba didepak dan digantikan oleh Mardiono yang merupakan buntut dari pernyataan kontroversial ‘amplop kiai’. Rentetan konflik internal ini tentu menjadi catatan buruk, yang membuat citra PPP negatif hingga membuat pemilih dan simpatisan semakin antipati.

Bahtera Sunyi Demokrasi

Secara langsung atau tidak, perpecahan internal dan krisis identitas yang dialami PPP, mengakibatkan suara PPP semakin tergerus. Hal ini terbukti dari perolehan persentase suara secara nasional pasca reformasi, yang terus menurun. Pada Pemilu 1999 PPP masih meraih 10,7% suara nasional, menyusut menjadi 8,1% pada 2004. Kemudian turun lagi menjadi 5,3% pada Pemilu 2009, lalu 6,5% pada 2014. Kemudian jatuh ke 4,5% pada 2019, dan hanya tersisa 3,8% pada 2024, yang berujung gagalnya PPP untuk pertama kali mengirimkan wakilnya ke Senayan.

Sementara itu, munculnya partai-partai baru pasca reformasi yang berazaskan Islam, juga menjadi momok tersendiri bagi PPP. Kehadiran PKB, PKS, PAN, PBB hingga Partai Ummat, tentu memberi warna baru dalam kancah perpolitikan Indonesia. Lebih dari itu, partai-partai tersebut dapat menjadi pilihan alternatif bagi simpatisan, bahkan kader PPP yang merasa kecewa dengan kondisi PPP saat ini. Partai yang ketika orde baru menjadi wadah aspirasi politik bagi umat muslim di Indonesia, bisa saja hanya dianggap sebagai bagian dari sejarah perjalanan panjang demokrasi Indonesia.

Partai yang lahir dari fusi empat Partai Islam yakni Nahdlatul Ulama, Parmusi, PSII dan PERTI yang dapat memainkan peran penting sebagai penyeimbang era Orde Baru tersebut, dahulu mampu menghadirkan kekhawatiran bagi kekuasaan. Namun seiring berjalannya waktu, Partai Islam yang melegenda itu harus diakui tidak lagi diperhitungkan dan menjadi kekhawatiran di panggung politik nasional.

Mirisnya lagi, bagi kelompok tertentu khususnya yang berada pada tampuk kekuasaan, PPP hanya sebagai nilai tambah jika berada dalam koalisi, dan bukan ancaman serius seandainya memilih oposisi. Ini menjadi sebuah ironi partai besar seperti PPP yang telah berdiri sejak lama, menjadi bahtera besar namun sepi atau bahkan tanpa penghuni dengan suara yang terus berkurang, serta hanya mengekor pada Partai besar lain.

Meritokrasi Regenerasi

Konflik Internal berkepanjangan maupun Dualisme, yang terjadi beberapa kali saat pergantian pucuk pimpinan PPP sudah seperti ‘Jerat Lingkaran Setan’ yang tiada habisnya. Keinginan untuk menggelar Muktamar riang gembira, serta memilih Ketua Umum baru yang dapat diterima seluruh kader maupun simpatisan secara damai sepertinya hanya angan-angan belaka. Masalah krisis kepemimpinan internal, aturan yang ditambal sulam hingga pelaksanaan AD/ART yang diduga diterapkan secara serampangan menjadi penyebab PPP selalu berpolemik.

Akibatnya, muncul anggapan yang tidak hanya datang dari eksternal tetapi juga internal, yang secara tidak langsung telah menjadi opini publik ‘mengurus partai saja tidak becus bagaimana mau mengurus rakyat’. Walaupun tidak sepenuhnya benar, opini yang berkembang liar tersebut juga tidak mutlak salah. Ini bisa menjadi catatan evaluasi bagi internal PPP, untuk berubah menjadi lebih baik, sehingga Partai yang diinginkan dan didambakan umat itu bukan suatu kemustahilan, dan wadah aspirasi masyarakat khususnya umat muslim betul-betul ada.

Hal tersebut bisa terwujud, tentunya sejak proses penjaringan dan pemilihan pucuk pimpinan. Ketua Umum menjadi penentu kemana dan bagaimana nasib Partai, setidaknya selama lima tahun kedepan. Jika berkaca pada asumsi kedua kubu yang saat ini berseteru, yakni Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto, terlihat keduanya sama-sama memiliki argumen menguatkan sekaligus melemahkan.

Kubu Mardiono berpendapat bahwa Agus Suparmanto tidak bisa menjadi Ketua Umum, karena sesuai AD/ART PPP Ketua Umum harus kader internal dan pernah menduduki posisi dibawah Ketua Umum. Sementara kubu Agus Suparmanto berpendapat jika Mardiono telah gagal memimpin PPP, dan proses pemilihan Ketua Umum dilakukan secara sepihak. Jika diperdebatkan, ini tentu seolah tiada habisnya, karena baik kubu Mardiono atau Agus Suparmanto, sama-sama bertahan dan menganggap asumsi masing-masing merupakan kebenaran mutlak.

Namun, jika penjaringan dan pemilihan Ketua Umum berlandaskan Meritokrasi dan Regenerasi, maka kedua kandidat tersebut barangkali juga sama-sama akan tereliminasi. Gagalnya PPP untuk pertama kali menduduki Parlemen, harus diakui juga bagian kegagalan Mardiono dalam memimpin PPP. Terlepas apapun dalil yang menjadi pembelaan, seperti suara ditingkat daerah naik atau jumlah Kepala Daerah dari PPP yang bertambah, absennya PPP di parlemen menjadi luka tersendiri bagi kader dan simpatisan PPP.
Dengan demikian, suara dari para kader yang menghendaki Mardiono legowo dan menyerahkan estafet kepemimpinan PPP, kepada orang yang dianggap mampu adalah hal wajar.

Sementara itu, aturan AD/ART yang telah disepakati sejak lama dan mengharuskan calon Ketua Umum dari kalangan internal, juga sepatutnya dijalankan dan dihormati seluruh pihak, baik internal maupun eksternal. Pergantian atau penyegaran yang dilakukan PPP, bukan berarti pihak luar yang baru bergabung ujug-ujug ingin langsung merebut pucuk pimpinan. Apalagi, Agus Suparmanto sebelumnya merupakan kader PKB, yang notabene memiliki basis masa beririsan dengan PPP. Bagaimana tidak publik berasumsi bahwa Agus Suparmanto ‘Duta Besar PKB untuk PPP’. Maka dari itu, Ketua Umum PPP harus merupakan sosok yang mumpuni dan bersal dari kalangan internal Partai.

Rekonsiliasi dan Konsolidasi

Kondisi PPP saat ini bisa dibilang cukup memprihatinkan. Pasalnya, Partai Islam tertua yang seharusnya semakin kokoh, dengan suara dan kader militan yang semakin bertambah, faktanya justru sebaliknya. PPP yang sejak orde baru terus diterpa badai, tak kuasa menahan goncangan baik dari internal maupun eksternal. Tokoh serta kader-kader militan Partai Ka’bah diibaratkan seperti bertahan di rumah tepi pantai, yang kian hari semakin rapuh dan rawan roboh dihantam badai.

Polemik yang terjadi ditubuh PPP sudah seharusnya diakhiri, dan menjadi evaluasi untuk perbaikan menuju kearah lebih baik kedepannya. Banyak simpatisan PPP di seluruh Indonesia, yang masih percaya bahwa PPP merupakan satu-satunya Partai yang menjadi aspirasi wadah masyarakat, khususnya umat muslim. Sudah saatnya, sebagai Partai Islam tertua, PPP kembali menunjukkan taji di kancah perpolitikan Indonesia, dengan menjadi pembela serta pejuang aspirasi masyarakat, khususnya umat muslim. PPP harus kembali menjadi penyeimbang kekuasaan dan Partai besar yang cukup diperhitungkan.

Para tokoh dan kader yang sebelumnya berseberangan, terutama pada Muktamar X ini harus kembali bergandengan tangan mengembalikan kejayaan PPP. Semangat fusi politik 1973 yang merupakan bagian sejarah PPP juga harus menjadi pedoman untuk menjalankan roda Partai kedepan. Bahkan bukan tidak mungkin, beberapa tokoh mumpuni yang dimiliki PPP saat ini bersinergi memimpin Partai Ka’bah dengan semangat fusi politik 1973. Seperti misalnya Ketua Umum berlatar belakang NU dengan Sekjen dari Parmusi, atau Ketua Umum dari Parmusi bersama Sekjen dari NU, atau mungkin Ketua dari Sarekat Islam maupun PERTI dengan Sekjen dari NU.

Pemilu 2029 tentu tidak bisa dianggap lama, waktu efektif yang kurang dari tiga tahun lagi, akan menjadi waktu penting bagi PPP untuk berbenah seandainya PPP ingin meraih hasil memuaskan. Tapi jika PPP terus larut dalam konflik internal berkepanjangan, bukan tidak mungkin PPP akan kembali gagal, hingga terlewat oleh Partai pendatang baru yang solid dengan berbagai sumber kekuatan.