RADARNESIA.COM – FLOQ, salah satu platform aset kripto di Indonesia, mengajukan usulan kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar beban pajak kripto bisa dilonggarkan.

Permintaan ini muncul karena pajak yang berlaku saat ini dinilai berpotensi menekan minat masyarakat dalam bertransaksi aset digital.

Founder FLOQ, Yudhono Rawis menuturkan pihaknya tetap mendukung aturan yang ditetapkan pemerintah.

Kendati demikian, Yudhono menilai perlunya penyesuaian agar industri kripto bisa tumbuh lebih sehat.

“Kami terus berdialog dengan Ditjen Pajak dan OJK agar pajak kripto bisa berkurang. Kita harus melihat praktik negara lain yang memiliki pajak lebih rendah, tetapi mampu mengadopsi kripto lebih baik dan bisa memberikan dampak ekonomi,” ujarnya dalam acara Media Gathering FLOQ Circle di Badung, pada Rabu, 20 Agustus 2025.

Yudhono menambahkan, adopsi kripto di Indonesia terus berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Data OJK mencatat, jumlah pelanggan aset kripto telah menembus lebih dari 15 juta pengguna per Juni 2025. Angka tersebut menunjukkan potensi besar bagi industri ini untuk berkontribusi terhadap ekonomi nasional.

Seperti diketahui, pemerintah baru saja memperbarui aturan perpajakan aset kripto lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 50/2025. Aturan ini menggantikan regulasi sebelumnya, yaitu PMK No. 68/2022.

Dalam beleid terbaru tersebut, kripto dipandang sebagai instrumen keuangan, sehingga skema pajaknya disesuaikan. Salah satu perubahan besar adalah penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan aset kripto, yang sebelumnya dikenakan dalam setiap transaksi.

Meski begitu, tidak semua biaya dihapus dari PPN. Jasa pendukung seperti penyedia sarana elektronik untuk transaksi kripto dan jasa verifikasi transaksi yang dilakukan penambang tetap terkena PPN. Hal ini berarti pelaku industri masih menghadapi kewajiban tambahan dalam menjalankan bisnisnya.

Selain itu, terdapat kenaikan pajak penghasilan (PPh) atas transaksi kripto. Bila sebelumnya tarif ditetapkan sebesar 0,1 persen dari nilai transaksi melalui PMK No. 68/2022, kini naik menjadi 0,21 persen sesuai aturan baru PMK No. 50/2025.

Kenaikan tarif tersebut menuai sorotan dari pelaku industri. Mereka khawatir, tarif lebih tinggi justru akan mengurangi aktivitas perdagangan kripto dan mendorong sebagian pengguna untuk mencari alternatif lain, termasuk platform luar negeri yang menawarkan pajak lebih rendah.

Yudhono menilai, Indonesia perlu mengambil pelajaran dari negara lain yang berhasil mendorong adopsi kripto lewat regulasi yang lebih ramah. Menurutnya, bila pajak bisa lebih proporsional, pertumbuhan industri ini berpotensi mendongkrak ekonomi digital dan membuka peluang kerja baru.

“Kalau regulasi dan pajak seimbang, ekosistem kripto di Indonesia bisa berkembang pesat dan memberi kontribusi nyata terhadap perekonomian,” tukasnya.