Radarnesia.com – Pada dini hari yang lembap di pesisir Sulawesi Utara, Arman—nelayan berusia 48 tahun—mendorong perahunya ke laut yang terlihat lebih gelap dibandingkan biasanya. Suara mesin tempel tua membelah keheningan. “Sekarang harus berangkat lebih jauh,” gumamnya sambil menatap cakrawala. Sepuluh tahun lalu, ia hanya butuh waktu dua jam untuk kembali dengan perahu penuh ikan. Kini, empat hingga lima jam perjalanan pun tak menjamin hasil serupa.

Kisah seperti yang dialami Arman bukan lagi pengecualian. Di banyak wilayah pesisir Asia Tenggara, Pasifik, dan Samudra Hindia, nelayan merasakan gejala yang sama: menurunnya jumlah tangkapan, berubahnya musim ikan, dan cuaca yang makin sulit diprediksi. Perubahan-perubahan ini menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem laut kita—dan betapa mendesaknya kerja sama regional untuk menjawab tantangan ini.

Laut adalah ruang hidup bagi jutaan orang. Ia bukan sekadar bentang air, melainkan sumber pangan, penghidupan, dan identitas budaya. Namun, dalam dua dekade terakhir, laut menunjukkan tanda-tanda “keletihan” yang semakin jelas.

Terumbu karang memutih akibat kenaikan suhu, padang lamun tergerus abrasi, dan mangrove ditebang untuk pembangunan pesisir. Dalam beberapa kasus, kerusakan itu diperparah oleh aktivitas ilegal seperti penangkapan ikan destruktif atau penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan.

Yang membuat masalah ini semakin kompleks adalah sifat laut yang tidak mengenal batas negara. Migrasi ikan melintasi beberapa kawasan, arus laut membawa polutan antarwilayah, dan badai tropis yang semakin kuat dapat berdampak pada beberapa negara sekaligus.

Karena itu, konservasi laut tidak bisa dilakukan sendirian. Ia memerlukan kerja sama lintas batas—kolaborasi yang melihat laut sebagai satu ekosistem besar, bukan sebagai potongan-potongan terpisah di dalam peta politik.

Konservasi Laut: Menyatukan Upaya, Memperkuat Perlindungan

Upaya memperluas kawasan konservasi laut (MPA) tengah meningkat di banyak kawasan. Namun keberhasilan MPA tidak ditentukan oleh luasnya semata, melainkan oleh cara kawasan tersebut dikelola dan bagaimana negara-negara saling berbagi peran.

Beberapa bentuk kerja sama regional yang kini mulai terlihat antara lain: Pertukaran data oseanografi dan ekologi untuk memetakan pergerakan ikan dan kondisi terumbu karang regional; Pengelolaan MPA lintas batas, terutama pada area penting seperti segitiga terumbu karang (Coral Triangle); Patroli bersama untuk memonitor penangkapan ikan illegal; Platform riset terintegrasi guna memahami dampak gabungan polusi, perubahan iklim, dan aktivitas manusia.

Dengan menggabungkan sumber daya, negara-negara dapat menciptakan perlindungan yang lebih efektif. Ada penghematan biaya, peningkatan kapasitas teknologi, dan—yang paling penting—pemahaman ekosistem yang lebih komprehensif.

Perikanan Berkelanjutan: Dari Krisis Menuju Koordinasi

Di pasar ikan Kotabaru, seorang pedagang bernama Nurhayati mengeluh bahwa ukuran ikan tongkol yang masuk ke lapak semakin kecil. “Dulu kami biasa dapat tongkol besar, sekarang paling-paling segini,” katanya sambil menunjukkan ikan berukuran sepertiga dari biasanya.

Fenomena ini terjadi di banyak kawasan dan merupakan tanda jelas bahwa tekanan terhadap sumber daya ikan sudah melewati batas. Tanpa pengelolaan yang terencana, sumber daya laut bisa kolaps.

Kerja sama regional diperlukan untuk: Mengatur kuota tangkap bersama agar sesuai dengan daya dukung ekosistem; Memerangi IUU fishing melalui teknologi pelacakan kapal dan perjanjian penegakan hukum lintas negara; Mengembangkan alat tangkap ramah lingkungan melalui riset dan inovasi Bersama; Mengumpulkan data stok ikan secara terstandarisasi, sehingga hasil kajian menjadi acuan bersama, bukan berdiri sendiri-sendiri.

Ketika negara-negara menyelaraskan strategi perikanan, keberlanjutan dapat dicapai tanpa mengorbankan kebutuhan ekonomi masyarakat pesisir.

Dalam lima tahun terakhir, kejadian cuaca ekstrem meningkat di berbagai kawasan pesisir. Gelombang panas laut memicu pemutihan karang massal, sementara badai siklon semakin sering menghantam daerah yang sebelumnya jarang terkena. Banyak desa pesisir kini berhadapan dengan ancaman ganda: sumber daya ikan menurun, sementara risiko bencana meningkat.

Meski tantangannya besar, kawasan pesisir juga memiliki peluang luar biasa untuk membangun ekonomi biru—model ekonomi yang berbasis pada pemanfaatan laut secara berkelanjutan.

Melalui kerja sama regional, negara-negara dapat: Mengembangkan ekowisata laut yang selaras dengan konservasi; Menciptakan rantai nilai perikanan yang lebih efisien dan adil; Mengembangkan energi terbarukan laut seperti gelombang dan angin lepas pantai; Mendorong inovasi akuakultur berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pangan; Ekonomi biru bukan sekadar konsep, tetapi jalan baru untuk meningkatkan kesejahteraan tanpa mengorbankan kesehatan laut.

Pertemuan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs

Pertemuan Tingkat Pejabat Senior ke-20 atau 20th Senior Officials’ Meeting (SOM-20) Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) resmi digelar di Bali. Pertemuan ini menjadi momentum penting untuk memperkuat kerja sama regional dalam konservasi laut, pengelolaan perikanan berkelanjutan, dan peningkatan ketahanan kawasan terhadap perubahan iklim.

SOM-20 mempertemukan pejabat tinggi dari enam negara anggota CTI-CFF —Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste—untuk membahas capaian program, menyepakati rencana kerja tahun 2026, dan menetapkan arah pelaksanaan program CTI CFF ke depan. Pertemuan ini diselenggarakan oleh Sekretariat Regional CTI-CFF bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selaku National Coordinating Committee (NCC).

Rangkaian SOM ke-20 berlangsung pada 10–11 Desember 2025, setelah didahului oleh Pertemuan Pendahuluan Pejabat Senior (Pre-SOM) pada 8–9 Desember 2025. Dalam Pre-SOM, para pejabat dan kelompok kerja teknis membahas keterlibatan mitra CTI CFF, laporan teknis, serta penguatan tata kelola guna memastikan kualitas rekomendasi yang dibawa ke SOM-20. Laporan hasil diskusi teknis yang berlangsung sepanjang tahun di negara-negara anggota CTI CFF juga turut memperkaya proses pembahasan, sehingga keputusan yang dihasilkan menjadi lebih inklusif dan berbasis data.

Penguatan Komitmen Negara-Negara Anggota

SOM-20 menjadi forum bagi pejabat senior untuk meninjau kemajuan berbagai kelompok kerja, termasuk Seascape, Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM), Marine Protected Area (MPA), Climate Change Adaptation (CCA), dan Threatened Species Working Group. Selain itu, pertemuan juga membahas sejumlah inisiatif lintas sektor seperti Forum Kepemimpinan Perempuan (Women Leaders Forum), Kemitraan Universitas (University Partnership), Forum Bisnis Regional (Regional Business Forum), serta kelompok kerja tata kelola seperti Kelompok Kerja Tata Kelola meliputi FRWG, MEWG, dan IRC.

Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP selaku Chair CSO CFI-CFF, Koswara, menegaskan pentingnya konsistensi dan sinergi antarnegara. “SOM-20 mencerminkan komitmen berkelanjutan negara-negara anggota untuk memperkuat kerja sama berbasis ilmiah guna mewujudkan perikanan berkelanjutan, ekosistem laut yang tangguh, ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir di kawasan Segitiga Karang” tegasnya.

Senada dengan itu, Wakil Ketua CSO Malaysia, Datuk Dr. Ching Thoo a/l Kim, juga menekankan pentingnya sinergi regional. “Diskusi pada SOM-20 menunjukkan nilai penting dari kepemimpinan regional yang terkoordinasi. Dengan berbagi praktik baik dan wawasan teknis, kita dapat memastikan pengelolaan sumber daya Segitiga Terumbu Karang secara berkelanjutan untuk generasi sekarang dan mendatang” ujarnya.

Hasil Utama SOM-20

SOM-20 menghasilkan sejumlah tujuh keputusan penting. Pertama, pertemuan menyetujui Laporan Chair SOM-20 yang merangkum berbagai capaian bersama dan prioritas negara-negara anggota. Kedua, enam negara anggota menyampaikan Laporan Tahun 2025, yang kemudian diakui sebagai bagian dari kemajuan kolektif kawasan.

Ketiga, negara-negara anggota menyetujui laporan dan rekomendasi dari Kelompok Kerja Tata Kelola—MEWG, FRWG, dan IRC—yang semakin memperkuat transparansi, pengelolaan keuangan, dan akuntabilitas dalam proses CTI-CFF. Keempat, negara-negara juga menyetujui rencana kerja dan anggaran 2026 dari Kelompok Kerja Teknis, yang akan mendukung aksi bersama di tingkat regional, termasuk dalam pengelolaan bentang alam (seascapes), perikanan berbasis ekosistem, kawasan konservasi laut, adaptasi perubahan iklim, dan perlindungan spesies terancam.

Kelima, pertemuan menerima Laporan Direktur Eksekutif Sekretariat Regional CTI-CFF yang memuat capaian tahun berjalan serta prioritas untuk tahun mendatang. Keenam, pertemuan juga memberikan apresiasi kepada para Mitra CTI CFF atas kontribusinya memperkuat kolaborasi lintas sektor di kawasan Segitiga Karang.

Terakhir, negara-negara anggota menyetujui keputusan yang tertuang dalam Chair’ Summary SOM-20 yang memuat arahan kebijakan dan rekomendasi sebagai acuan implementasi program regional pada tahun 2026.

Ketua Delegasi Indonesia sekaligus Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut, Hendra Yusran Siry, menegaskan pentingnya komitmen bersama dalam menjaga keberlanjutan kawasan Segitiga Karang: “Indonesia memastikan bahwa setiap keputusan yang dihasilkan pada SOM-20 selaras dengan upaya peningkatan kesehatan ekosistem laut dan penguatan pengelolaan perikanan di tingkat nasional maupun regional. Melalui kerja sama yang solid antarnegara anggota, kita dapat mempercepat pencapaian target konservasi sekaligus memastikan keberlanjutan sumber daya bagi masyarakat pesisir.”

Direktur Eksekutif Sekretariat Regional CTI-CFF, Dr. Frank Griffin, menyampaikan apresiasinya atas proses konsultatif dan konstruktif dalam Pre-SOM maupun SOM-20: “Pre-SOM dan SOM-20 menjadi ruang penting untuk meninjau kemajuan dan menyelaraskan prioritas. Dalam pertemuan dimaksud, negara anggota berkontribusi aktif dalam agenda tata kelola, teknis, dan lintas sektor, serta menyepakati rencana kerja yang menjadi landasan kuat untuk implementasi tahun mendatang.”

Sekretariat Regional CTI-CFF bersama KKP menegaskan komitmennya mendukung negara anggota dalam mengimplementasikan hasil keputusan SOM-20. Upaya bersama ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan berkelanjutan dan ketahanan kawasan, serta memastikan pengelolaan sumber daya laut Segitiga Karang yang berkelanjutan untuk generasi saat ini dan masa depan.

Pada Akhirnya, Laut Adalah Kita

Ketika Arman menambatkan kembali perahunya di sore hari, wajahnya tampak lelah. Ia sadar hasil tangkapannya mungkin tidak akan kembali seperti dulu jika laut terus berubah. Namun ia juga percaya bahwa perubahan bisa terjadi jika negara-negara bersatu menjaga lautan.

Kerja sama regional adalah harapan baru. Ia memungkinkan terjadinya tindakan kolektif yang lebih kuat, lebih cepat, dan lebih berkelanjutan.

Masa depan laut—dan masa depan jutaan orang yang bergantung padanya—bergantung pada bagaimana momentum ini dimanfaatkan. Jika kawasan dapat bekerja bersama, ekosistem laut dapat dipulihkan, sumber daya ikan dapat terjaga, dan masyarakat pesisir dapat menjadi lebih tangguh menghadapi perubahan iklim. Laut telah memberi kehidupan selama ribuan tahun. Kini, saatnya kita menjaga laut bersama.