Oleh: Martayadi Tajuddin

Radarnesia.com – Polemik pembangunan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) dan stockpile batu bara oleh PT Sinar Anugrah Sukses (PT SAS) di kawasan Aur Kenali, Kota Jambi, telah menjadi episentrum tarik-menarik antara kepentingan investasi, kepedulian lingkungan, dan pertarungan legitimasi sosial-politik. Di tengah derasnya gelombang penolakan dari masyarakat sipil, desakan aktivis lingkungan seperti WALHI, serta sikap hati-hati sejumlah pejabat publik, muncul satu suara yang mengambil jalur berbeda: Jefri Bintara Pardede.

Sebagai Ketua Sahabat Alam Jambi sekaligus Wakil Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Jambi, pernyataan Jefri menimbulkan spektrum interpretasi yang luas. Dalam salah satu pernyataan publiknya, ia menyampaikan:
“Berpotensi disusupi kepentingan pengusaha hitam dan berdampak menghambat kemajuan daerah serta mengganggu upaya pemerintah dalam mensejahterakan rakyat, sebaiknya dihindari dan jangan ada upaya kekerasan verbal dalam pemberitaan terkait aksi penolakan pembangunan PT SAS dengan narasi tuduhan hoax, fitnah dan kebencian terhadap investasi.”

Pernyataan ini memperlihatkan dukungan yang relatif eksplisit terhadap proyek TUKS PT SAS. Namun, di tengah sensitivitas isu lingkungan dan tekanan sosial yang tinggi, posisi ini tidak datang tanpa konsekuensi. Maka pertanyaan penting pun muncul: apakah Jefri benar-benar menawarkan pendekatan moderat yang menjembatani kepentingan ekonomi dan ekologi, ataukah ia sedang memainkan strategi politik yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan elektabilitas?

*Dukungan Moderat atau Simbolik Pro-Investor?*

Melalui pernyataan di atas, Jefri tidak sekadar membela proyek TUKS, tetapi juga mengkritik keras pihak-pihak yang menolak pembangunan. Dengan menggunakan istilah seperti “pengusaha hitam”, “hoax”, dan “fitnah”, ia menempatkan kritik terhadap proyek sebagai ancaman terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Masalahnya, narasi seperti ini bisa mengarah pada delegitimasi aspirasi warga. Kritik terhadap proyek tambang dan infrastruktur yang berdampak lingkungan adalah bagian dari demokrasi. Jika ekspresi keresahan warga dibungkus sebagai ujaran kebencian terhadap investasi, maka yang sedang dipertaruhkan adalah kebebasan sipil dan akuntabilitas proses pembangunan itu sendiri.

Selain itu, proyek TUKS PT SAS sendiri masih menyisakan berbagai pertanyaan—dari keabsahan AMDAL, transparansi izin, hingga keterlibatan masyarakat dalam proses konsultasi publik. Dalam konteks ini, sikap Jefri bisa saja dibaca bukan sebagai dukungan moderat, melainkan sebagai bentuk keberpihakan simbolik kepada pemodal dan struktur kekuasaan yang menopangnya.

*Politik Elektoral: Investasi sebagai Panggung Kekuasaan*

Sebagai politisi Partai Golkar, yang memiliki sejarah panjang dalam mengelola kekuasaan dan pembangunan, posisi Jefri tentu tidak lepas dari kalkulasi elektoral. Dalam ilmu politik, pembangunan sering digunakan sebagai instrumen untuk memperkuat legitimasi dan memperluas dukungan. Dukungan terhadap TUKS PT SAS bisa diduga menjadi strategi untuk membangun relasi yang lebih erat dengan elite pemerintahan daerah maupun pelaku usaha besar.

Dengan citra ganda sebagai aktivis lingkungan dan tokoh partai, Jefri berupaya tampil sebagai figur “penyeimbang”—tidak ekstrem dalam menolak, juga tidak pasif dalam mendukung. Strategi ini dalam kajian komunikasi politik disebut soft alignment, yaitu ketika aktor publik mengambil posisi ambivalen untuk menjangkau segmen publik yang lebih luas dan menjaga fleksibilitas manuver politiknya.

Namun dalam praktik, strategi semacam ini seringkali menyamarkan orientasi yang sebenarnya: yakni memperbesar ruang negosiasi politik, menjaga jarak aman dari konflik ideologis, dan mempersiapkan panggung elektoral menjelang kontestasi kekuasaan berikutnya.

Kepentingan Pribadi: Dimensi yang Tak Terhindarkan

Dugaan keuntungan pribadi dari sikap dukungan terhadap proyek seperti ini memang tidak bisa serta-merta dibuktikan. Tetapi dalam kajian ekonomi-politik sumber daya alam (political economy of natural resources), relasi antara elite politik daerah dan industri ekstraktif sudah menjadi pola yang berulang: patronase politik, kemitraan bisnis, hingga dapat dibaca sebagai bagian dari strategi konsolidasi politik, konversi sumber daya menjadi modal politik.

Paska Pilkada dan dalam suasana politik yang mulai menghangat menuju kontestasi legislatif atau eksekutif berikutnya, posisi Jefri sebagai pendukung proyek besar—yang disinyalir punya koneksi kuat dengan investor dan pemerintah provinsi—bisa menjadi bagian dari konsolidasi sumber daya kekuasaan. Bukan hanya dalam bentuk material, tetapi juga penguatan jaringan loyalis dan akses terhadap institusi-institusi strategis.

Dengan demikian, narasi legal-formal yang dibangun bukan semata-mata menunjukkan kedewasaan dalam berwacana, tetapi bisa juga diduga menyamarkan misi tersembunyi yang lebih pragmatis: memastikan posisi tetap relevan dan dominan dalam peta kekuasaan lokal.

*Identitas Budaya dan Legitimasi Politik*
Sebagai keturunan Batak Toba bermarga Pardede, Jefri membawa warisan nilai-nilai seperti dalihan na tolu (tiga pilar relasi sosial), etos kerja keras, dan semangat marsipature hutanabe—semangat memajukan tanah perantauan. Nilai-nilai ini mendorong seseorang untuk vokal, prinsipil, dan berani mengambil sikap di ruang publik.

Namun dalam praktik politik di Jambi, identitas minoritas seperti ini juga bisa menjadi modal politik tersendiri. Dengan tampil sebagai tokoh rasional yang “melampaui identitas etnik” dan berpihak pada pembangunan nasional, Jefri mungkin sedang membangun citra sebagai figur inklusif yang bisa diterima lintas suku dan agama. Ini sah dalam demokrasi, namun tetap harus dibaca secara kritis dalam konteks bagaimana identitas digunakan untuk memperoleh legitimasi sosial dan dukungan elektoral.

Moderasi yang Perlu Diawasi

Cara pandang Jefri Bintara Pardede terhadap polemik TUKS PT SAS memang menunjukkan satu hal penting: bahwa konflik investasi dan lingkungan tidak selalu harus direspons secara konfrontatif. Namun ketika suara moderasi justru cenderung meredam kritik, menyamakan aspirasi warga sebagai bentuk penghambatan, dan terlalu cepat menyematkan label pada penolakan publik, maka publik berhak bertanya: siapa yang sebenarnya dibela?

Apakah ini ekspresi keberanian politik yang tulus? Atau justru bentuk baru dari elitisme yang menyamar dalam jubah keseimbangan?

Di tengah masa depan ekologis Jambi yang semakin terancam oleh industri ekstraktif, masyarakat sipil harus tetap waspada dan kritis. Karena pada akhirnya, suara mereka yang tinggal berdampingan langsung dengan debu batu bara dan truk tambanglah yang paling layak menjadi kompas pembangunan.(MT)

Pengamat Kebijakan Pembangunan Daerah, Infrastruktur, dan Lingkungan.