Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd.(Guru Besar UIN STS Jambi)
Hari Ayah Nasional
Tanggal 12 November diperingati sebagai Hari Ayah Nasional. Momen refleksi ini hadir di tengah Pengaruh dan gerusan budaya global dan digital yang secara perlahan mendefinisikan ulang peran domestik seorang laki-laki. Di era post-modern ini, identitas ayah mengalami dualisme krisis: dituntut menjadi penyedia finansial sekaligus figur emosional yang hadir di rumah. Tekanan media sosial dan nilai-nilai global seringkali menciptakan ekspektasi peran yang tidak realistis. Widodo (2024) dalam perspektif psikologi keluarga Islam menyoroti bagaimana arus globalisasi menuntut adaptasi peran yang masif. Lebih lanjut, Burton (2020) mencatat bahwa tekanan ini memaksa ayah modern untuk menyeimbangkan antara penyedia finansial dan influencer moral.
Maka, pertanyaan fundamentalnya adalah: Masihkah Ayah menjadi teladan, pemimpin, tulang punggung, dan pelindung kedamaian keluarga di tengah pusaran digital ini? Esai ini bertujuan merefleksi fungsi esensial ayah dalam perspektif Islam, meninjau ulang kedudukannya dari warisan keilmuan klasik hingga kontemporer, seraya mengambil pelajaran dari kisah-kisah kenabian sebagai panduan parenting di abad ke-21.
Teori Islam Klasik, Kontemporer, dan Pandangan Sufi
Pandangan Islam tentang Ayah melampaui sekadar penyedia nafkah, ia ditegaskan dalam kerangka wilayah (kepemimpinan) dan qawwamah (pemeliharaan).
Secara klasik, ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menempatkan ayah sebagai Murabbi (pendidik) dan Mu’addib (pembentuk adab). Al-Ghazali (2009) menegaskan bahwa tanggung jawab pendidikan spiritual dan moral anak sejak dini terletak di pundak ayah, menjadikannya gerbang pertama spiritualitas keluarga.
Dalam konteks kontemporer, model ini diperkuat oleh Abdullah Nashih Ulwan (2004) yang merangkum tujuh pilar utama peran ayah. Implementasi model tersebut saat ini diuji oleh kehadiran Generasi Alpha dan kondisi post-pandemi. Pratama (2022) menekankan pentingnya peran ayah dalam pembentukan karakter anak di tengah perubahan sosial yang sangat cepat ini.
Dimensi sufistik memberikan kedalaman spiritual. Bagi kaum Sufi, ayah diposisikan sebagai Mursyid (pembimbing spiritual) pertama. Said (2020) menghubungkan pandangan sufi ini dengan subjek modernitas, di mana pencarian sakinah (kedamaian batin) ayah adalah kunci utama untuk membawa Inner Peace ke dalam keluarga yang berada dalam Chaotic Digital World. Kedamaian internal (sakinah) ayah menjadi prasyarat untuk memimpin.
Posisi Ayah dalam Al-Qur’an, Hadis, dan Fiqih
1. Dalam Al-Qur’an dan Hadis
Al-Qur’an menyoroti peran ayah sebagai pendidik akidah. Surah Luqman menjadi contoh paling jelas, di mana M. Quraish Shihab (2006) menekankan bahwa teladan tauhid ayah adalah pelajaran paling penting yang harus ditanamkan.
Ketauladanan ayah juga dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. An-Nawawi (1998) mengumpulkan hadis-hadis dalam Riyadhus Shalihin yang menekankan sikap kasih sayang dan kelembutan Nabi SAW, menolak stereotip ayah yang kaku dan otoriter.
2. Dalam Fiqih Kontemporer
Fiqih modern, dalam kajian Fiqh al-Usrah, menggeser penekanan dari hak legal ke tanggung jawab moral-psikologis.
Wahbah Al-Zuhaili (2007) menjelaskan bahwa tanggung jawab ayah dalam pembiayaan dan pendidikan moral/agama anak (hadhanah) tidak pernah gugur. Kewajiban nafkah ini telah berevolusi; Rif’at (2021) bahkan telah merekonstruksi Fiqih Keluarga dengan menyoroti kewajiban nafkah non-materi ayah dalam bentuk komunikasi dan bimbingan digital yang berkualitas.
Dalam konteks Indonesia, H. Nasution (2019) memandang kewajiban ayah sebagai implementasi dari hifdz al-nasl (menjaga keturunan) dalam Maqashid Syariah. Hal ini sangat krusial. Al-Qodhi (2023) secara spesifik menyerukan perlunya ayah Muslim untuk memahami Cyber Risks dan membangun Ethical Frameworks demi melindungi anak-anak mereka di ruang siber. Ayah harus menjadi filter yang bijak terhadap arus digital yang berpotensi merusak karakter anak (Mutawalli, 2018).
Kisah Inspiratif Sang Ayah Sepanjang Kenabian
Kisah para Nabi (AS) adalah cermin sempurna peran ayah ideal:
- Nabi Ibrahim AS: Ayah yang mengajarkan ketaatan total (tsiqah) pada kehendak Ilahi kepada Nabi Ismail AS. Kisah pengorbanan yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir (2000) adalah puncak pendidikan tauhid dan penyerahan diri.
– Nabi Muhammad SAW: Beliau adalah teladan ayah yang menunjukkan rahmah (kasih sayang universal). Martin Lings (2005) menggambarkan bahwa Nabi membiarkan cucu-cucunya bermain di punggungnya saat shalat. Ini mengirimkan pesan kuat bahwa ayah adalah ruang aman dan bermain pertama bagi anak, bahkan dalam situasi formal ibadah.
Penutup
Peran ayah modern menghadapi tekanan yang kompleks dan eksistensial. Hari Ayah Nasional harus menjadi momentum evaluasi bagi semua pihak. Ayah harus kembali menjadi: pemimpin spiritual (berdasarkan warisan sufistik), pendidik dialogis (sesuai tuntutan kontemporer dan Gen Alpha), dan teladan moral (mencontoh kenabian).
Kedamaian keluarga akan tegak, bukan karena tingginya penghasilan, tetapi karena kuatnya tiang tarbiyah yang dipancangkan oleh sang ayah. Tantangan bagi Ayah hari ini adalah menjadi filter yang bijak bagi arus digital dan globalisasi budaya (Widodo, 2024), memastikan bahwa anak mampu menyaring informasi, sehingga warisan spiritual dan karakter mereka tetap kokoh.













