RADARNESIA.COM – Ditegaskan oleh pemerhati anak, Ayu Ningsih bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014, secara eksplisit melarang pelibatan anak dalam kegiatan politik. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 15 dan Pasal 76H.
“Pasal 15 menyatakan bahwa anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Sementara itu, Pasal 76H melarang siapa pun untuk merekrut atau memperalat anak, baik untuk kepentingan militer maupun kegiatan lainnya, yang dapat mengancam keselamatan jiwa mereka,” dalam rilis resminya, Senin (14/10/2024).
Ayu, yang juga mantan komisioner Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), menambahkan bahwa sanksi bagi pihak yang melanggar diatur dalam Pasal 87 UU tersebut. “Kandidat, partai politik, atau orang tua yang melibatkan anak dalam aktivitas politik bisa dikenai hukuman pidana hingga lima tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp100 juta,” tegasnya.
Ayu menyoroti bahwa kampanye politik, khususnya kampanye terbuka partai politik di tahun-tahun sebelumnya, masih rentan terjadi pelibatan dan penyalahgunaan anak. “Kampanye terbuka dan tertutup sering melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan yang sebenarnya tidak sesuai dengan usia mereka,” ungkap Ayu.
Menurutnya, dampak negatif pelibatan anak dalam politik sangat besar karena anak-anak belum memiliki kemampuan matang dalam menyaring informasi dan merespons perbedaan pendapat. “Ini dapat memicu bullying dan kekerasan ketika anak berbeda pandangan dengan teman sebaya. Terlebih lagi, jika kampanye melalui media sosial berisi hoaks, kampanye hitam, atau provokasi, anak-anak bisa terdorong untuk membenci calon tertentu tanpa dasar,” jelasnya.
Ayu mengimbau peserta Pilkada 2024 dan penyelenggara pemilu agar menghadirkan kampanye yang ramah anak serta memasukkan isu perlindungan anak ke dalam visi dan misi calon kepala daerah. “Masyarakat perlu melihat sejauh mana komitmen para calon dalam memperjuangkan hak-hak anak dan menciptakan lingkungan yang ramah bagi perkembangan anak,” katanya.
Ia juga meminta peserta pilkada untuk tidak menggunakan modus-modus seperti mobilisasi anak, penggunaan atribut politik pada anak, atau eksploitasi kesulitan anak dalam iklan kampanye. “Orang tua dan guru harus menjadi contoh bagi anak dalam pendidikan politik yang sehat, bukan justru mewariskan cara-cara politik yang salah,” tambahnya.
Selain melanggar UU Perlindungan Anak, Ayu menekankan bahwa politisasi anak juga dapat meningkatkan risiko mereka menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun psikis. Politisasi ini, lanjutnya, juga berpotensi mencabut hak-hak dasar anak, seperti hak bermain, belajar, dan menikmati waktu luang.
“Pendidikan politik yang baik seharusnya menyiapkan anak-anak agar kelak dapat berpartisipasi dengan matang di dunia politik dan menjadi bagian dari demokrasi yang berkualitas. Kampanye politik harus mampu memberikan contoh positif tentang berdemokrasi, termasuk dengan menciptakan kampanye yang ramah anak,” tutup Ayu.
Dia berharap momentum Pilkada 2024 di Aceh bisa menjadi titik balik bagi partai politik dan masyarakat dalam mengutamakan perlindungan anak serta menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan inklusif.