Radarnesia.com – Di era digital, akses terhadap data publik kian menjadi kebutuhan. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) kini melangkah lebih jauh dengan meluncurkan aplikasi geoportal Bhumi, sebuah inovasi yang membuka peta dasar pertanahan untuk masyarakat luas.
Transparansi urusan pertanahan kini bukan lagi hanya jargon. Lewat Bhumi, publik dapat langsung menelusuri bidang tanah di seluruh Indonesia, lengkap dengan status hak dan informasi spasial yang sebelumnya sulit dijangkau.
Kepala Biro Humas dan Protokol ATR/BPN, Harison Mocodompis, menegaskan bahwa Bhumi menjadi jembatan penting antara pemerintah dan rakyat. “Masyarakat bisa ikut menjadi mata bagi kerja-kerja pemerintah. Itu sebabnya kami membuka akses lewat portal https://bhumi.atrbpn.go.id/,” ujarnya.
Kehadiran aplikasi ini sejalan dengan semangat keterbukaan informasi publik, sekaligus menguatkan kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola pertanahan nasional.
Selama ini, data pertanahan kerap dianggap rumit, hanya bisa diakses kalangan tertentu, atau memerlukan prosedur panjang. Bhumi mengubah paradigma tersebut dengan menghadirkan peta interaktif yang dapat diakses siapa pun dengan jaringan internet.
Pada aplikasi ini, masyarakat dapat menemukan berbagai informasi, mulai dari Peta Interaktif, Pencarian Lokasi, hingga Informasi Zona Nilai Tanah (ZNT) yang selama ini menjadi referensi penting dalam transaksi jual beli tanah.
Tidak hanya itu, Bhumi juga memungkinkan pengguna melihat data bidang tanah yang sudah dipetakan maupun yang belum. Informasi ini penting untuk mencegah konflik agraria, tumpang tindih sertifikat, atau sengketa kepemilikan.
Harison menambahkan, transparansi ini merupakan bagian dari edukasi publik. “Kita ingin masyarakat ikut aktif mengawasi tata kelola pertanahan. Kalau ada data yang tidak sesuai, masyarakat bisa mengonfirmasi atau melaporkan,” jelasnya.
Dalam praktiknya, keterlibatan publik akan membantu pemerintah lebih cepat mendeteksi potensi masalah di lapangan, sekaligus memperkecil peluang praktik mafia tanah.
Sebagai platform berbasis open source, Bhumi hadir dengan sejumlah keunggulan teknis. Sistem ini tidak hanya informatif, tetapi juga memungkinkan analisis spasial secara langsung di layar (on screen analysis).
Fitur lain yang menjadi sorotan adalah kemampuan menampilkan visualisasi data 3D berbasis format BIM (Building Information Modeling). Dengan ini, tata ruang wilayah dapat dilihat lebih realistis.
Keunggulan visualisasi ini memberi nilai tambah, terutama bagi perencana pembangunan, akademisi, hingga warga yang ingin memahami kondisi lingkungannya secara detail.
Transparansi digital ini bukan hanya soal teknologi, melainkan soal membangun partisipasi. Dengan Bhumi, publik tidak lagi hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga menjadi mitra aktif dalam pengawasan pertanahan.
Harison menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor. “Tidak hanya Kementerian ATR/BPN yang bisa memikirkan, tapi harus ada sinergi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait,” katanya.
Kolaborasi tersebut menjadi kunci keberhasilan, sebab tata kelola pertanahan melibatkan banyak pihak, mulai dari pusat hingga desa.
Dengan akses peta yang terbuka, pemerintah daerah dapat memanfaatkan data untuk perencanaan pembangunan, sementara masyarakat bisa menggunakannya sebagai rujukan legalitas tanah.
Fitur Bhumi juga memberi manfaat bagi pelaku usaha, notaris, akademisi, maupun peneliti. Semua pihak kini memiliki dasar yang sama dalam melihat peta pertanahan Indonesia.
Di balik semua itu, aplikasi Bhumi merupakan wujud nyata dari Asta Cita pemerintah, khususnya cita kedua: “Mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, inklusif, dan harmonis”, serta cita keenam: “Membangun sistem pemerintahan yang terpercaya, efektif, dan transparan”.
Dengan menyediakan akses terbuka, ATR/BPN tidak hanya menegaskan komitmen transparansi, tetapi juga mendukung visi Indonesia Emas 2045 yang menekankan pengelolaan data publik berbasis teknologi.
Testimoni Masyarakat
Masyarakat pun menyambut baik kehadiran Bhumi. Banyak warga menilai aplikasi ini mempermudah mereka mengecek status lahan tanpa harus mengurus dokumen fisik berlapis-lapis.
Seorang warga Jakarta, misalnya, mengatakan bahwa Bhumi memotong birokrasi panjang. “Biasanya kalau mau cek tanah harus datang ke kantor, sekarang bisa lihat langsung di HP,” ujarnya.
Pengalaman serupa juga dirasakan mahasiswa geografi yang memanfaatkan Bhumi untuk keperluan penelitian. Dengan data spasial yang terbuka, penelitian menjadi lebih akurat dan efisien.
Fitur pencarian lokasi berbasis koordinat GPS juga memberi kemudahan bagi masyarakat desa. Mereka bisa langsung menelusuri lahan pertanian atau tanah adat yang mereka miliki.
Bagi pemerintah, keterlibatan publik dalam memanfaatkan Bhumi sekaligus menjadi bentuk pengawasan sosial. Partisipasi ini memperkuat integritas data yang dimiliki ATR/BPN.
Ke depan, ATR/BPN berkomitmen untuk terus memperbarui data agar lebih lengkap dan akurat. Perbaikan data akan dilakukan secara bertahap dengan melibatkan daerah dan pemangku kepentingan lainnya.
Harison menyebut, dengan semakin banyaknya pengguna Bhumi, kesadaran publik akan pentingnya legalitas tanah juga meningkat. Hal ini diharapkan mampu mengurangi sengketa tanah yang selama ini sering menjadi masalah sosial.
Menurutnya, konflik pertanahan bisa diminimalkan jika semua pihak memiliki informasi yang sama. “Kuncinya keterbukaan. Kalau data terbuka, semua bisa lihat, dan semua bisa kontrol,” jelasnya.
Kehadiran Bhumi juga mendukung kebijakan Satu Peta Nasional, yang bertujuan menyeragamkan seluruh data spasial agar tidak tumpang tindih antar instansi.
Dengan begitu, Bhumi bukan hanya aplikasi, tetapi juga bagian dari strategi besar tata kelola ruang dan lahan di Indonesia.