Radarnesia.com – PT Reasuransi Indonesia Utama (Indonesia Re) siap mengambil inisiatif untuk memimpin proses konsolidasi bisnis perusahaan-perusahaan reasuransi badan usaha milik negara (BUMN).

Direktur Utama Indonesia Re Benny Waworuntu mengatakan untuk skema konsolidasi bisnis perusahaan reasuransi masih didiskusikan dengan berbagai stakeholders seiring dengan banyaknya pertimbangan yang perlu diperhatikan.

“Karena banyak yang harus kita pertimbangkan, bukan cuma pemindahan saham aja, tapi gimana bisnis prosesnya, bisnis alignment ya, fokus bisnisnya, gimana teknologi, dan paling susah gimana orangnya. Jadi memang harus hati-hati, dan ini nggak akan terjadi dalam satu malam, akan berproses,” ujar Benny dalam acara Indonesia Re International Conference (IIC) 2025 di Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Saat ini, ungkap Benny, terdapat tiga perusahaan reasuransi BUMN, yakni PT Reasuransi Indonesia Utama (Indonesia Re), PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasre), dan PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugure).

“Kita take a lead, kita ambil inisiatif yang di BUMN dulu saja, yang di ekosistem BUMN ada tiga nih, Indonesia Re, Tugure, sama Nasre, ini yang coba nanti kita coba lihat, kemungkinan kita untuk konsolidasi,” ujarnya.

Dalam kesempatan ini, Indonesia Re mendukung rencana Danantara Indonesia yang akan melakukan konsolidasi bisnis terhadap perusahaan- perusahaan reasuransi BUMN maupun perusahaan asuransi BUMN.

Menurutnya, Danantara Indonesia akan menjadi mesin baru pemerintahan untuk menggerakkan roda perekonomian nasional.

“Sepertiga (ekonomi negara) ada dimiliki oleh BUMN. Jadi sekarang di bawah Danantara koordinasinya. Jadi, memang sangat-sangat dibutuhkan ya peran dan support dan so far memang Danantara sangat men-support kita,” ujar Benny.

Mengacu roadmap Indonesia Re, proses konsolidasi bisnis antara Indonesia Re dan Tugure ditargetkan pada 2026, setelahnya, merger dengan Nasre direncanakan berlangsung pada 2027. Dengan demikian, konsolidasi bisnis seluruh perusahaan reasuransi BUMN ditargetkan selesai pada 2028.

“Kami akan bisa memiliki perusahaan reasuransi nasional yang besar dan kuat, yang merupakan penggabungan dari tiga perusahaan reasuransi milik negara,” ujar Benny.

Nasre merupakan cucu usaha dari Indonesia Financial Group (IFG) dan mayoritas sahamnya yaitu 99% dimiliki oleh PT Asuransi Kredit Indonesia.

Sementara, Tugure merupakan anak usaha PT Pertamina (Persero), dengan kepemilikan saham terbesar dipegang oleh PT Tugu Pratama Interindo sebesar 50,74 persen dan PT Asriland sebesar 49,26 persen.

Benny mengungkapkan apabila diakumulasi hampir setiap tahun sebesar 40 persen dari premi reasuransi di Indonesia telah lari ke luar negeri.

Tercatat, total premi reasuransi neto yang lari ke luar negeri terus membesar, di antaranya pada 2019 sebesar Rp9,26 triliun, pada 2020 sebesar Rp9,1 triliun, pada 2021 sebesar Rp4,38 triliun, dan pada 2022 senilai Rp7,95 triliun. Kemudian, pada 2023 sebesar Rp11,08 triliun, dan terus membesar menjadi Rp12,1 triliun pada akhir 2024 lalu.

Dengan demikian, Benny mengatakan industri perasuransian termasuk penyumbang defisit neraca berjalan yang besar di Indonesia, termasuk reasuransi. Meskipun Indonesia memiliki neraca berjalan yang positif, namun grafik industri asuransi mengalami penurunan.

“Kalau kita lihat memang beberapa tahun terakhir, kita punya neraca positif, betul. Tapi kalau kita deep dive, di dalam neraca itu ada neraca jasa dan neraca produk. Di dalam neraca jasa, ya itu adalah perasuransian,” ujar Benny.

Sementara itu, Direktur Teknik dan Operasi PT Reasuransi Indonesia Utama (Indonesia Re) Delil Khairat mengatakan konsolidasi bisnis perusahaan-perusahaan reasuransi berpotensi menyerap lebih banyak premi reasuransi ke dalam negeri.

Namun, ia memastikan tetap akan ada premi reasuransi yang akan lari keluar negeri, untuk menyebarkan risiko yang terlalu volatile yang memang semestinya tidak ditahan terlalu banyak di dalam negeri.

“Lebih bisa menyerap banyak premi. Tapi, pasti akan ada premi yang keluar, terutama untuk menyebarkan risiko yang terlalu volatile, yang memang semestinya tidak kita tahan terlalu banyak di dalam negeri, misalnya risiko terkait dengan bencana alam, natural disaster,” ujar Delil.

Dengan konsolidasi bisnis perusahaan reasuransi, ia mengatakan Indonesia akan semakin sedikit memiliki perusahaan reasuransi namun perusahaan itu memiliki modal dan profesional kapabilitas yang kuat.

Dengan demikian, perusahaan reasuransi di dalam negeri tersebut akan mampu menahan risiko lebih banyak di dalam negeri.

“Tapi, tidak hanya sekadar menahan dan memperbanyak retensi dalam negeri, juga dengan expertise mereka yang kuat itu, mereka juga mampu menyeleksi risiko. Sehingga, risiko yang kita bangun di dalam negeri itu adalah risiko yang kualitasnya bagus,” ujar Delil.