Radarnesia.com – Delapan puluh tahun lalu, di sebuah rumah sederhana di Pegangsaan Timur, Jakarta, suara lantang Soekarno menggema: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” Teks proklamasi itu, dibacakan pada pagi 17 Agustus 1945, menjadi tonggak lahirnya sebuah bangsa.
Proklamasi itu bukanlah hadiah yang datang dari ruang hampa. Ia lahir dari pergulatan panjang rakyat yang rela mengorbankan harta, tenaga, bahkan nyawa demi satu kata yang menjadi kunci masa depan: kemerdekaan, agar generasi penerus memiliki harapan hidup yang lebih baik.
Sejak hari bersejarah itu, bangsa ini telah berdiri, bertahan, dan tumbuh di tengah badai sejarah—mulai dari perang mempertahankan kemerdekaan, pergolakan politik, krisis ekonomi, hingga gelombang reformasi yang mengubah wajah sistem pemerintahan kita.
Sejarah mengajarkan satu hal penting: kemerdekaan bukanlah garis akhir, melainkan titik awal dari perjalanan panjang sebuah bangsa yang harus terus diperbarui maknanya di setiap generasi.
Delapan dekade setelah Proklamasi tersebut, Indonesia berdiri sebagai negara dengan lebih dari 280 juta jiwa, salah satu demokrasi terbesar di dunia, dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Namun perjalanan 80 tahun bukanlah jalan mulus, Indonesia mengalami berliku, penuh tantangan, dan kaya cerita.
Jejak Sejarah Kemerdekaan
Masa awal kemerdekaan ditandai dengan revolusi mempertahankan kedaulatan. Rakyat berjuang dengan bambu runcing, sementara diplomasi dilakukan di meja perundingan. Setelah pengakuan kedaulatan pada 1949, Indonesia masih harus menata dirinya: dari pergolakan politik, pergantian sistem pemerintahan, hingga krisis ekonomi.
Orde Baru membawa stabilitas sekaligus ironi. Pertumbuhan ekonomi tinggi tercatat, namun diwarnai pembatasan kebebasan. Reformasi 1998 menjadi titik balik: rakyat menuntut demokrasi, transparansi, dan hak bersuara.
Dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPD beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan, pada 17 Agustus 2025, 80 tahun sudah para pendiri bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.
“Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah momen penting dalam perjuangan panjang bangsa ini untuk berdiri di atas kaki kita sendiri. Setelah deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa kita berperang selama lima tahun. Kita berperang merebut kemerdekaan dengan senjata dan dengan diplomasi, dengan semua kekuatan kita hingga kedaulatan kita benar-benar dapat kita rebut dan diakui di 1949,” kata Prabowo.
“Sejak itu, para pendahulu saya, Presiden Republik Indonesia pertama hingga Presiden Republik Indonesia yang ketujuh, bekerja keras membangun bangsa Indonesia. Bekerja keras untuk mewujudkan bangsa yang adil dan makmur,” ujar Prabowo.
Prabowo menuturkan, Presiden Soekarno telah memimpin perjuangan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan berhasil mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia di tengah berbagai intervensi dan invasi dari negara asing. Presiden Soekarno juga berhasil mengintegrasikan Irian Barat ke dalam NKRI.
Presiden Soeharto melaksanakan pembangunan ekonomi yang merata dari Sabang sampai Merauke, berhasil mewujudkan swasembada pangan dan meletakkan dasar-dasar industrialisasi ekonomi, dan menurunkan kemiskinan ekstrem.
Presiden Habibie mengenalkan kita ke arah teknologi tinggi, mampu menjaga stabilitas ekonomi di tengah krisis multidimensi 1998.
Presiden Abdurrahman Wahid menjaga stabilitas bangsa, berhasil memperkokoh kerukunan antara suku, agama, dan ras, sehingga jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk dalam keharmonisan terbentuk secara kuat dan kokoh.
Presiden Megawati menyelesaikan proses pemulihan ekonomi akibat krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan, menyelesaikan ribuan kasus perusahaan- perusahaan yang kolaps akibat krisis moneter 1998, dan melaksanakan Pemilihan Umum Presiden secara langsung untuk pertama kalinya, serta memperkuat lembaga-lembaga negara.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatasi kerawanan ekonomi karena krisis keuangan dunia 2008, berhasil menyelesaikan konflik Aceh, dan meletakkan dasar yang kuat untuk pembangunan ekonomi yang adil, merata dan terencana.
Presiden Joko Widodo membangun berbagai infrastruktur penting, meningkatkan konektivitas antara sentra-sentra ekonomi, memimpin kita di saat yang kritis, yaitu pandemi COVID-19, sehingga Indonesia termasuk salah satu negara yang paling cepat pulih dari dampak pandemi, keluar dari kesulitan ekonomi, dan juga beliau merintis pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara, dan meletakkan dasar strategi hilirisasi sumber daya alam Indonesia.
“Seluruh Presiden pendahulu saya bersama Pemerintah yang mereka pimpin berupaya mewujudkan Indonesia yang lebih dekat dengan cita-cita kemerdekaan kita, yaitu negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur,” ujar Prabowo.
“Negara yang sesuai dengan cita-cita pembentukan negara kita, yang tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yaitu negara yang: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” lanjut Prabowo Subianto.
Kini, 80 tahun setelah proklamasi, Indonesia berdiri sebagai negara demokrasi yang relatif stabil, dengan kebebasan pers yang lebih terbuka, meski masih menghadapi tantangan korupsi, kesenjangan, dan polarisasi sosial.
Delapan puluh tahun adalah waktu cukup panjang untuk melihat lompatan capaian. Listrik telah menjangkau hampir seluruh pelosok. Jalan tol, kereta cepat, dan bandara internasional menjadi simbol konektivitas. Digitalisasi merasuk ke desa-desa, menjembatani kesenjangan antarwilayah.
Di bidang pangan, berbagai program dari Bulog hingga Badan Pangan Nasional mencoba memastikan beras selalu tersedia di meja rakyat. Sementara di sektor internasional, Indonesia aktif di G20, memperjuangkan kepentingan negara berkembang.
Tak hanya di bumi, jejak Indonesia sudah sampai ke angkasa. Satelit komunikasi, riset luar angkasa, hingga keterlibatan anak muda di teknologi roket menandai babak baru: Indonesia tak lagi sekadar penonton, tapi juga pemain di panggung global.
Namun, peringatan 80 tahun juga saat tepat bercermin. Ketimpangan masih nyata: antara kota dan desa, Jawa dan luar Jawa, si kaya dan si miskin. Korupsi masih menggerogoti, sementara isu lingkungan menekan dari segala sisi—hutan menyusut, udara tercemar, laut tercemar plastik.
Di tengah globalisasi dan digitalisasi, muncul pula tantangan baru: arus informasi yang deras kadang memperkeruh, bukan mencerahkan. Polarisasi politik, hoaks, hingga ujaran kebencian menjadi tantangan menjaga persatuan.
Ekonomi menjadi nadi kesejahteraan rakyat. Harapan terbesar di usia kemerdekaan ke-80 ini adalah membaiknya kondisi ekonomi yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat: inflasi terkendali, harga kebutuhan pokok stabil, daya beli terjaga, dan lapangan kerja terbuka luas.
Semua itu harus diwujudkan bukan sekadar lewat angka statistik, tetapi melalui perubahan nyata yang hadir di meja makan keluarga Indonesia.
Harapan: Indonesia Emas 2045
Delapan puluh tahun adalah usia matang. Di usia ini, bangsa bukan lagi sekadar bertahan hidup, tapi dituntut untuk berlari menuju masa depan. Visi Indonesia Emas 2045—saat usia kemerdekaan genap 100 tahun—menjadi kompas.
Harapannya sederhana namun besar: Indonesia menjadi negara maju, adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Pendidikan berkualitas, lapangan kerja layak, pangan cukup, energi bersih, serta demokrasi yang sehat.
Di Tabanan, Bali, sebuah koperasi desa memanfaatkan digitalisasi untuk menyejahterakan anggotanya. Di Papua, anak-anak sekolah bercita-cita menjadi dokter, guru, dan pilot. Di Jakarta, anak muda merintis startup yang bermimpi menembus pasar global. Mosaik kecil ini, bila dirangkai, bisa menjadi gambar besar tentang harapan Indonesia.
Delapan puluh tahun lalu, proklamasi adalah janji kemerdekaan. Kini, tugas kita menjaga agar janji itu tak padam. Menjaga keadilan, merawat kebhinekaan, dan menyalakan harapan.
Indonesia 80 tahun bukan sekadar perayaan, tapi juga pengingat: perjalanan masih panjang, tapi arah sudah jelas. Dari desa hingga kota, dari generasi tua hingga anak muda, semua punya peran. Karena Indonesia bukan hanya sejarah yang ditulis, tapi masa depan yang harus diwujudkan bersama.
Kepala LPPM Universitas Muhammadiyah Bandung, Dr. Ijang Faisal, M.Si, dalam sebuah opninya menyebutkan bahwa 80 tahun kemerdekaan bukanlah garis akhir, melainkan gerbang menuju babak baru yang akan menentukan wajah Indonesia dua dekade ke depan.
Inilah fase krusial di mana komitmen kepemimpinan, keberanian mengambil keputusan besar, dan keteguhan menepati janji akan diuji. Apakah Indonesia akan melangkah pasti menuju kejayaan, atau justru terperangkap dalam siklus masalah yang sama?
Rakyat telah memberikan mandat dengan harapan besar. Kini, saatnya pemerintah membalas kepercayaan itu dengan kerja nyata yang konsisten, memimpin dengan hati nurani, dan mengembalikan arah bangsa pada cita-cita luhur para pendiri: Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.
“Sejarah tidak akan mengingat berapa banyak janji yang pernah diucapkan, tetapi berapa banyak yang benar-benar diwujudkan. Pada usia ke-80 ini, pilihan kita sederhana namun menentukan: berani menempuh jalan perubahan yang membawa kemajuan, atau kembali larut dalam kompromi yang melemahkan. Keputusan ada di tangan para pemimpin, tetapi konsekuensinya akan dirasakan oleh seluruh rakyat, hari ini, esok, dan puluhan tahun ke depan,” ujar Ijang.
Indonesia Emas 2045 tidak akan lahir dari retorika kosong, melainkan dari kerja keras yang konsisten, kebijakan yang berpihak pada rakyat, dan keberanian memutus mata rantai kebijakan yang merugikan bangsa.
Inilah saatnya meneguhkan langkah, membersihkan jalan dari penghalang, dan memastikan setiap keputusan hari ini menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang. Karena kemerdekaan sejati bukan hanya hak yang diwariskan, tetapi amanah yang harus kita jaga dan wujudkan bersama.