Radarnesia.com – Ombudsman Republik Indonesia menyatakan telah merampungkan kajian sistemik terhadap tata kelola industri kelapa sawit nasional.

Kajian ini menjadi dasar strategis dalam upaya pencegahan dan pemberantasan maladministrasi, khususnya di sektor pelayanan publik sawit yang selama ini dinilai rawan praktik penyimpangan.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menjelaskan bahwa kajian ini dilakukan berdasarkan data dan indikator yang terukur, bukan asumsi atau spekulasi.

“Untuk menyatakan adanya maladministrasi, kami harus memastikan adanya penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hukum, atau kerugian nyata terhadap masyarakat,” ujar Yeka saat dikonfirmasi, Senin (14/7).

Menurut Yeka, hasil pengawasan Ombudsman kerap menghasilkan tindakan korektif dan saran wajib yang memiliki kekuatan hukum serta bisa dijadikan dasar penguatan tata kelola lembaga pelayanan publik.

IPOSS Dorong Riset Strategis & Inovasi Limbah Sawit Dalam pertemuan bersama Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) pada 9 Juli lalu, Ombudsman mendiskusikan berbagai tantangan dan peluang sektor sawit.

Direktur IPOSS, Nanang Hendarsah, menyampaikan pentingnya membangun sistem data sawit terpadu, serta mengatasi tumpang tindih regulasi yang selama ini membingungkan pelaku industri dan petani.

IPOSS juga tengah mengembangkan riset strategis terkait pemetaan asal-usul sawit dan pemanfaatan limbah sawit menjadi bahan bakar pesawat (Palm Oil Mill Effluent/POME), mengikuti inovasi yang telah dilakukan Malaysia.

“Kami ingin industri sawit di Indonesia lebih berkelanjutan dan berdampak luas secara nasional,” kata Nanang.

Ia juga menekankan pentingnya komunikasi publik dan literasi tentang sawit untuk mengikis stigma negatif yang kerap menempel pada industri ini, terutama di kalangan generasi muda.

Yeka menyambut baik pendekatan riset yang dilakukan IPOSS. Ia bahkan menyebut bahwa bila tata kelola industri sawit diperkuat secara menyeluruh dan terintegrasi, potensi tambahan pendapatan negara bisa mencapai Rp200 triliun per tahun.

Namun demikian, Yeka menegaskan perlunya dibentuk lembaga nasional khusus yang fokus pada isu kelapa sawit secara komprehensif.

“Malaysia mungkin tidak seluas Indonesia dari sisi lahan, tapi produktivitas dan kualitasnya jauh lebih unggul. Kita bisa belajar dari sana, lalu menyesuaikan dengan konteks Indonesia untuk hasil optimal,” ungkapnya.

Dalam diskusi tersebut, Ombudsman dan IPOSS membahas kemungkinan kerja sama jangka panjang berbasis riset dan pengawasan pelayanan publik guna memperkuat reformasi sektor sawit nasional.

Ombudsman berharap kolaborasi dengan lembaga riset seperti IPOSS dapat memperkuat tata kelola sawit yang lebih transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.