RADARNESIA.COM – Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) menjanjikan efisiensi, kecepatan, dan akurasi. Tapi di balik inovasi itu, tersembunyi ruang gelap yang patut diwaspadai.

“Kecerdasan buatan telah menjadi simbol kemajuan teknologi yang merevolusi hampir setiap sektor kehidupan. Namun, di balik potensinya yang luar biasa untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan inovasi, tersimpan pula sisi gelap yang kini mulai menampakkan dampak nyatanya dalam dunia kriminalitas digital,” kata Pratama Dahlian Persadha, Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) dikutip liputan6 Senin (2/6/2025).

Dalam beberapa tahun terakhir, Dahlian menjelaskan AI tak hanya menjadi alat bantu yang sah, tetapi juga senjata baru yang digunakan pelaku kejahatan siber untuk melancarkan aksinya dengan cara yang semakin canggih, sulit dilacak, dan sangat merugikan.

“Perkembangan AI dalam konteks kriminalitas digital menciptakan lanskap baru yang kompleks,” ucap dia

Dia menjelaskan, sistem AI yang awalnya dirancang untuk mendukung otomatisasi dan prediksi berbasis data kini disalahgunakan untuk menciptakan serangan siber yang lebih terstruktur dan adaptif. Contoh nyatanya adalah penggunaan AI dalam rekayasa sosial otomatis, di mana pelaku kejahatan siber menggunakan chatbot berbasis AI untuk mengelabui korban secara real-time.

“Algoritma AI memungkinkan analisis cepat terhadap profil individu dari media sosial, yang kemudian digunakan untuk menyusun pesan-pesan penipuan yang sangat meyakinkan dan bersifat personal,” ucap dia.

Menurut dia, kemunculan jenis kejahatan baru akibat penyalahgunaan AI tak bisa lagi dianggap spekulatif. Deepfake adalah salah satu manifestasi paling mengkhawatirkan.

Teknologi ini memungkinkan penciptaan konten visual dan audio yang sangat realistis namun sepenuhnya palsu, seperti wajah dan suara tokoh publik yang dimanipulasi seolah-olah mereka mengucapkan atau melakukan hal-hal tertentu.

“Ini tidak hanya membahayakan reputasi individu, tetapi juga dapat digunakan untuk menyebarkan disinformasi, melakukan pemerasan, atau bahkan mengintervensi proses politik,” terang dia.

Selain itu, Pratama Dahlian menambahkan terdapat pula serangan phishing berbasis AI yang memanfaatkan Natural Language Processing (NLP) untuk menghasilkan email palsu dengan tata bahasa dan gaya bahasa yang hampir tak bisa dibedakan dari komunikasi resmi. (Sumber liputan6)